Header Ads

Sadjarah Bandung


Sejarah Bandung Di Jaman Dahulu

    Kota Bandung tidak berdiri bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Bandung. Kota itu dibangun dengan tenggang waktu yang sangat jauh setelah Kabupaten Bandung berdiri. Kabupaten Bandung dibentuk pada sekitar pertengahan abad ke-17 Masehi, dengan Bupati pertama Tumenggung Wiraangunangun. Beliau memerintah Kabupaten Bandung hingga 1681.


Semula Ibu Kota Kabupaten Bandung terletak di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) kira - kira 11 kilometer ke arah Selatan dari pusat Kota Bandung sekarang. Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II (1794 - 1829) yang dijuluki "Dalem Kaum I", kekuasaan Nusantara beralih dari Kompeni ke Pemerintahan Hindia Belanda, dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808 - 1811).


    Untuk kelancaran menjalankan tugasnya di Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di ujung barat Jawa Barat ke Panarukan di ujung timur Jawa Timur (kira - kira 1000 km). Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi di bawah pimpinan Bupati daerah masing - masing. Di daerah Bandung khususnya dan daerah Priangan umumnya, Jalan Raya Pos mulai dibangun pertengahan 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang telah ada. Di daerah Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Asia Afrika dan Jalan A.Yani yang berlanjut ke Sumedang dan seterusnya. Untuk kelancaran pembangunan jalan raya, dan agar Pejabat Pemerintahan Kolonial mudah mendatangi Kantor Bupati, Daendels melalui surat tanggal 25 Mei Tahun 1810 meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakanmuncang untuk memindahkan Ibukota Kabupaten, masing - masing ke daerah Cikapundung dan Andawadak (Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos. Rupanya Daendels tidak mengetahui, bahwa jauh sebelum surat itu keluar, Bupati Bandung sudah merencanakan untuk memindahkan Ibukota Kabupaten Bandung, bahkan telah menemukan tempat yang cukup baik dan strategis bagi Pusat Pemerintahan. Tempat yang dipilih adalah lahan kosong berupa hutan, terletak di tepi barat Sungai Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos yang sedang dibangun (Pusat Kota Bandung Sekarang). Alasan pemindahan Ibukota itu antara lain, Krapyak tidak strategis sebagai Ibukota Pemerintahan, karena terletak di sisi selatan daerah Bandung dan sering dilanda banjir bila musim hujan. Sekitar akhir tahun 1808 awal tahun 1809, Bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekati lahan bakal Ibukota baru. Mula - mula Bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke BaluburHilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampung Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang). Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendeals, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota itu langsung dipimpin oleh Bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (The Founding Father) Kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai Ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September Tahun 1810. (14 Juni 2007) Sumber : www.bandungharitage.com



    Cikal bakal Kabupaten Bandung, semula berada di Krapyak atau Bojongasih di tepi sungai Cikapundung, dekat muaranya yaitu Sungai Citarum. Nama Krapyak kemudian berganti menjadi Citeureup. Bahkan nama itu hingga kini tetap abadi menjadi salah satu nama desa di Dayeuhkolot. Bupati pertamanya adalah Wiraangunagun (1641 - 1670). Pada masa Bupati Wiranatakusumah II (1794 - 1829) Ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak (Dayeuhkolot) ke pinggir Sungai Cikapundung atau Alun - alun Bandung sekarang. Pemindahan Ibukota tersebut adalah atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda "Deandels" tepatnya pada 25 Mei 1810. Alasan pemindahan Ibukota, karena dinilai daerah baru tersebut akan memberikan prospek baik terhadap perkembangan wilayah itu, karena saat itu Deandels yang mendapat julukan "Mas Galak" tengah membuat jalan Anyer ke Panarukan, yang kebetulan melewati Tatar Priangan atau Kotamadya Bandung pada saat sekarang ini, Sewaktu jembatan penyebrangan Sungai Cikapundung selesai dibuat, sah dan maka Deandels lah orang pertama yang menyebranginya. Lewat beberapa ratus meter kemudian ia menancapkan tongkat kayu dan berkata "Coba usahakan, bila aku datang kembali ke tempat ini, telah dibangun sebuah kota".


    Konon pula, bekas tongkat kayu ditancapkan itu dijadikan Kilometer Nol Kota Bandung. Bupati Wiranatakusumah IV dinilai sebagai seorang pamong yang progresif, dialah peletak Master Plan yang disebut Negroij Bandung. Bupati Wiranatakusumah IV pada 1850 mendirikan pendopo Kabupaten Bandung (sekarang rumah dinas Walikota Bandung, Persis di depan Alun - alun Bandung) dan Mesjid Agung Bandung. Ia juga memprakarsai pembangunan sekolah raja (pendidikan guru) dan pendidikan sekolah para menak.


    Atas jasa - jasanya di segala bidang Wiranatakusumah IV mendapat penghargaan dari Pemerintah Kolonial Belanda berupa bintang jasa. Kemudian karena penghargaan inilah, rakyat Kabupaten Bandung selalu menyebut Bupati yang satu ini, dengan nama Dalem Bintang. Bupati yang populer di hati rakyat ini kemudian diganti oleh Raden Adipati Kusumadilaga. Pada masa Bupati Kusumadilaga, tepatnya 17 Mei Tahun 1884 di Kabupaten Bandung mulai masuk jalan kereta api.


    Ibukota Kabupaten Bandung pun mulai ramai. Penghuninya bukan saja hanya pribumi, namun orang Eropa dan Bangsa Cina terus berdatangan, yang dengan demikian maka semakin majulah perekonomian Kabupaten Bandung pada saat itu. Pada masa RAA. Martanegara (1893 - 1918), yaitu pada 21 Februari 1906, Kota Bandung sebagai Ibukota Kabupaten Bandung, statusnya berubah menjadi Gemeente (Kotapraja), dengan Pejabat Walikota pertama adalah Tuan B Coops. Sejak itulah Kota Bandung resmi terlepas dari Pemerintahan Kabupaten Bandung hingga sampai dengan saat sekarang ini.

    Pada Jaman Republik, pada saat Pemerintahan Kabupaten Bandung dipegang oleh Bupati R. H. Lily Sumantri, terjadi peristiwa penting, yaitu rencana pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung yang semula berlokasi di Kota Bandung ke daerah Baleendah di wilayah hukum Kabupaten Bandung. Kepindahan ini disebut sebagai kembalinya Ibukota ke tapak cikal bakal Kabupaten Bandung pertama semasa Tumenggung Wiraangunangun. Dalam perkembangannya, atas beberapa pertimbangan, fisis, geografis daerah Baleendah tidak memungkinkan untuk menjadi Ibukota, maka Ibukota diboyong ke lokasi baru, yaitu di Desa Pamekaran Kecamatan Soreang. Diatas lahan seluas 24 hektar, kini berdiri kompleks perkantoran Pemerintahan Kabupaten Bandung, dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Priangan. Sumber : www.geocities.com/denyhamdani/bdg/sejarahbdg.com Oleh : A. Sobana Hardjasaputra.



    Mengenai asal - usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "Banding" dalam bahasa Indonesia, berarti berdampingan atau berdekat - dekatan. Hal ini dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda - Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "Bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam Bahasa Sunda, ngabandeng berati genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari katabendung. Pendapat - pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum Purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Perahu yang meletus pada masa holosen (+- 6000 Tahun yang lalu). Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (+- 30 Kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Perahu sampai Soreang (+- 50 Kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan surut pada masa neolitikum (+- 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad - abad.


    Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri Pemerintahan Kabupaten Bandung (sekitar dekade ketiga abad ke 17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung. Berdirinya Kabupaten Bandung sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur".


    Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan Ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerasaan Sunda Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke 15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipatu Ukur. Pada masa Pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sanga". Setelah Kerajaan Sunda Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan pasukan Banten dalam usaha menyebarkan Agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintahkan pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580 - 1608), dengan Ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah barat Kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan Kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis). Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ortu Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaanMataram sejak 1620. Sejak itu status Sumedang Larang pun berubah dari Kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.


    Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah Pemerintahan Sultan Agung (1613 - 1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten. Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsamenjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620 - 1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. 1624 Sultan Agung memerintahkan Rngga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, Jabatan Bupati Wedana Priangan Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya ia menerima sanksi politisi dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataran. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.


    Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu Pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekuwensi daei kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap kompeni gagal, meraka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram. Terjadilah pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari Pusat Kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah bandung) pada 1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali Jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi Pemerintahan di Priangan untuk mensetabilkan situasi di daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang, dan Kabupaten Sakapura dengan cara mengangkat tiga Kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Ketiga orang Kepala Daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, Umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi Mantri Agung (Bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraanggunangun, Tanubaya sebagai Bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Peagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu Tanggal 9 Muharam Alip (Penanggalan Jawa). Dengan demikian, Tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.

    Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang Pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari Pemerintahan Kerajaan (Kerajaan Sunda Pajajaran kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga Bupati itu dilantik di pusat Pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing - masing. Sadjarah Bandung (Naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Disana Bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungai Citarum dengan muara Sungi Cikapundung, (Daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagi Ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Kur Gede. Wilayah Administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke 17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak / belum ditemukan. Menurut sumber Pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.

    Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan Wilayah Tatar Ukur, merupakan Wilayah Administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan itu benar, maka Kabupaten Bandung dengan Ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain - lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang. Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintahan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa Kerajaan tersebut, maka sistem Pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem Pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan Atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh Bupati, antara lain ditunjukan oleh pemilikan hak - hak istimewa yang biasa dimiliki oleh Raja. Hak - hak yang dimaksud adalah hak mewariskan Jabatan, hak memungut Pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (Ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.

    Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti Raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem Pemerintahan dan Gaya Hidup Bupati merupakan miniatur dari kehidupan Keraton. Dalam menjalankan tugasnya, Bupati dibantu oleh Pejabat - pejabat bawahannya, seperti Patih, Jaksa, Penghulu, Demang atau Kepala Cutak (Kepala Distrik), Camat (pembantu Kepala Distrik), Patinggi (Lurah atau Kepala Desa) dan lain - lain. Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram - Kompeni (Perjanjian Pertama) Tanggal 19 - 20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677 - 1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan Birokrasi dengan Kompeni. Sistem Pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar Bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil - hasil Bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini Bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah Jabatan Bupati Wedana dihilangkan.

    Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (Opzigter) daerah Cirebon - Priangan (Cheribonsche Preangerlan). Salah satu kewajiban Bupati terhadap Kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama Kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu Bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan Bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni di Cirebon. Agar Bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh Bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik Bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.


    Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni VOC akhir 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang Bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan Bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai 1681. Lima Bupati lainnya adalah Bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah 1681 - 1704, Tumenggung Anggadireja I (1704 - 1747). Tumenggung Anggadireja II (1747 - 1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763 - 1794) dan R.A Wiranatakusumah II yang memerintah dari 1794 hingga 1829. Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, Ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke Kota Bandung.


    Berdirinya Kota Bandung ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati R.A. Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799), Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintahan Hidia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808 - 1811). Sejalan dengan perubahan Kekuasaan Hindian Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan Ibukota Kabupaten dari Krapyak di bagian selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang terletak di bagian tengah Kabupaten tersebut. Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (Penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para Bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban - kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (Penjajah). Dengan demikian mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing - masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.

    Menurut Naskah Sadjarah Bandung, pada 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal Ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut Naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun. Semula Bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah ke Balubur Hilir.


    Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di jl. Asia Afrika dekat gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada di sana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai di suatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu Deandels menancapkan tongkat seraya berkata : "Zorg, dat als ik terugkom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!). Rupanya Deandels mengkehendaki Pusat Kota Bandung dibangun di tempat itu.


    Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan Ibukota masing - masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui Surat Tanggal 25 Mei 1810. Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua mentum tersebut di kukuhkan dengan besluit (Surat Keputusan) Tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan Tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari jadi Kota Bandung. Boleh jadi Bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah disana terlebih dahulu berdiri bangunan Pendopo Kabupaten. Dapat dipastikan Pendopo Kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk Pusat Kegiatan Pemerintahan Kabupaten Bandung.


    Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (The Founding Father) Kota Bandung. Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden Priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan Besluit Gubernur Jendral Tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai Pusat Pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai Ibukota Keresidenan Priangan.


    Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846 - 1874). Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung Keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah Hotel Pemerintah. Gedung Keresidenan selesai dibangun 1867.

    Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroprasi trasportasi Kereta Api dari dan ke Kota Bandung sejak 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai Pusat kegiatan Transportasi Kereta Api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk.


    Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya Lembaga Otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu Pemerintah Pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem Pemerintahan Sentralistis berikut dampaknya. Karena, Pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem Desentralisasi, bukan hanya Desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga Desentralisasi dalam pemberian hak otonom bidang pemerintahan (Zelfbestuur). Dalam hal ini, Pemerintahan Kabupaten Bandung dibawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893 - 1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti Pemerintah Kabupaten mendapat dana budget khusus dari Pemerintah Kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.

    Berdasarkan Undang - undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan 1903 dan Surat Keputusan tentang Desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak Tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai Gemeente (Kotapraja) yang berpemerintahan Otonom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai Pusat Pemerintahan, terutama Pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung dipimpin oleh Asisten Residen Priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak 1913 Gemeente dipimpin oleh Burgemeester (Walikota).

Sumber : Kota - kota lama di Jawa Barat
Penerbit : Alqaprint Jatinangor/sundanet.com/gerbang.jabar.go.id/kabbandung.
Sumber : (Majalah Tata Ruang Indonesia Edisi 06 Juni 2010).

Tidak ada komentar